Kegagalan Berhukum Menghadapi Wabah Covid19
https://theindianpractitioner.com/ |
Oleh Zenwen Pador
Pada saat beberapa narapidana yang dilepaskan terkait asimilasi wabah corona diberitakan mengulangi kembali kejahatannya, beberapa kalangan kembali mempertanyakan urgensi kebijakan asimilasi tersebut. Ada juga yang menyindir, masyarakat diminta di rumah saja sebaliknya narapidana malah dibebaskan. Padahal kata Menkopulhukam, Mahfud Md, penjara itu adalah tempat isolasi yang baik dari wabah virus corona.
Ketika Perpu No. 1
tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan
Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus
Disease 2019 dikeluarkan, beberapa kalangan mempertanyakan pasal imunitas bagi
pejabat pemerintahan terkait alokasi dan pengelolaan dana penanganan wabah.
Kabarnya saat ini beberapa tokoh masyarakat dan kelompok profesional lainnya
sedang melakukan uji materil Perpu
tersebut ke Mahkamah Konstitusi.
Pada bagian lain kritik
kalangan masyarakat pun masih belum berhenti tentang penilaian atas kelambanan
Pemerintahan Jokowi mengambil sikap dan mengeluarkan peraturan untuk
pelaksanaan lockdown ataupun
karantina yang diyakini bisa menjadi
solusi penghentian penyebaran virus.
Ketika justru PP tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang keluar dan beberapa daerah seperti
Jakarta, Depok, Bogor dan Bekasi sudah mulai menerapkan, langkah tersebut
dinilai sudah sangat terlambat. Faktanya sudah 8.882 warga Indonesia telah
dinyatakan positif terpapar virus corona serta merengut 743 lebih nyawa warga
Indonesia meninggal dunia sampai Minggu, 26 April 2020.
Hukum selalu kalah
cepat dari masalah empiris yang berkembang di tengah masyarakat. Penyebaran
virus corona memang melebihi kecepatan Pemerintah untuk menanggulangi apalagi
mencegahnya.
Namun persoalannya yang
banyak menjadi keberatan publik ternyata bukan hanya soal lambannya tindakan
Pemerintah dalam membuat aturan yang menjadi dasar hukum untuk bertindak cepat
dalam menanggulangi wabah ini. Namun mengedepannya kesan sikap remeh negara terhadap penyebaran wabah ini.
Walaupun ada juga pengamat yang menilai bukan soal menganggap remeh tetapi soal bersikap
hati-hati dalam mengambil tindakan. Kekuatirannya Lockdown akan membawa dampak yang besar bagi perekonomian. Opsi
Karantina Wilayah pun yang dimungkinkan dalam UU Karantina Kesehatan tidak
diambil Presiden Jokowi salah satunya karena pertimbangan perekonomian juga. Maka yang dilakukan kemudian hanyalah PSBB.
Namun faktanya hantaman
terhadap perekonomian negara sudah nyata di depan mata. Bahkan tidak hanya bagi
Indonesia saja tetapi wabah virus ini telah berpengaruh secara global. Sehingga
dampak perekonomian tidak hanya dialami sendiri oleh Indonesia tetapi hampir
seluruh negara mengalaminya.
Artinya Pemerintah
sepertinya mengkuatirkan sesuatu yang
sebenarnya memang sudah akan menjadi akibat secara otomatis, apapun langkah yang akan diambil dalam menghadapi wabah ini. Kekuatiran
yang sia-sia nampaknya.
Namun apakah langkah,
kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan Pemerintah di tengah wabah covid19 ini
dapat dijadikan cerminan akan konsep dasar, paradigma dan moralitas hukum dan
kebijakan yang dianut Pemerintah?
Lemahnya
Paradigma Hukum Bencana?
Bengawan hukum, Prof.
Satjipto Rahardjo mengatakan hukum mempunyai paradigma, yaitu suatu perspektif
dasar. Paradigma tersebut membawa kita kepada kebutuhan untuk melihat hukum
sebagai institusi yang mengespresikan paradigma tersebut.
Baca juga : Polisikan Ibu Rumah Tangga, Walikota Surabaya Menyalahgunakan Wewenang?
Kita tidak dapat mengabaikan pembicaraan mengenai paradigma tersebut tanpa mengalami gangguan dalam pemahaman kita mengenai hukum. Dengan mengetahui paradigma yang ada di belakang hukum, kita dapat memahami hukum lebih baik daripada jika kita tidak mengetahuinya (Satjipto Raharjo, 2010, hal.67).
Baca juga : Polisikan Ibu Rumah Tangga, Walikota Surabaya Menyalahgunakan Wewenang?
Kita tidak dapat mengabaikan pembicaraan mengenai paradigma tersebut tanpa mengalami gangguan dalam pemahaman kita mengenai hukum. Dengan mengetahui paradigma yang ada di belakang hukum, kita dapat memahami hukum lebih baik daripada jika kita tidak mengetahuinya (Satjipto Raharjo, 2010, hal.67).
Benarkah dalam kondisi
darurat di tengah terjangan wabah covid 19 ini Pemerintah masih berfikir
pragmatis tentang pertumbuhan ekonomi ketimbang aspek moral kemanusiaan
penyelamatan nyawa warganya? Dengan kata lain,
kenapa PP tentang penerapan PSBB yang dikeluarkan bukan
karantina wilayah yang diambil sepertinya sangat berkaitan erat dengan
pemahaman pragmatisme efisiensi ekonomi yang melatarbelakanginya.
Menurut Fuller sebagaimana
dikutip Prof. Satjipto Rahardjo (2010, hal 67-68), hukum tidak dapat diterima
sebagai hukum, kecuali apabila bertolak dari moralitas tertentu. Hukum harus
mampu memenuhi ukuran moral tertentu dan ia tidak layak disebut sebagai hukum
apabila memperlihatkan kegagalan-kegagalan antara lain :
Pertama,
kegagalan mengeluarkan aturan (to achief
rules). Kedua, kegagalan karena
membuat aturan-aturan yang saling bertentangan (contradictory rules). Suatu sistem hukum tidak boleh mengandung
aturan yang bertentangan satu sama lain.
Ketiga, kegagalan untuk menyerasikan aturan dengan
praktek penerapannya. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan
dengan pelaksanaannya sehari-hari.
Bila kita kaitkan
dengan berbagai persoalan (hukum) yang mengemuka sejak awal mula wabah covid19
ini melanda Indonesia nampaknya teori tersebut menemukan realita empirisnya.
Terkait kegagalan
pertama, Negara dinilai telah gagal
untuk mengeluarkan aturan hukum dengan cepat menyikapi wabah.
Wacana antara lockdown, karantina
wilayah sampai akhirnya PSBB yang diterapkan sedikit banyaknya telah menguras
energi dan banyak membuang waktu sementara penyebaran wabah ini terlihat
demikian cepatnya.
Kegagalan kedua
tergambar dari munculnya beberapa aturan dan kebijakan yang saling
bertentangan. Dalam kasus penanganan
covid19 inipun terjadi antara lain bedanya Permenkes tentang PSBB dengan
Permenhub. Yang satu melarang ojek online membawa penumpang tetapi satunya lagi
membolehkan ojek online bawa penumpang (orang).
Belum lagi beda sikap
antara Pemda dengan Pemerintah. Terkait karantina wilayah misalnya, sejak awal
sebelumnya keluarnya PP tentang PSBB, Gubernur Anies Baswedan telah
mengajukan permohonan agar Jakarta disetujui untuk menerapkan karantina
wilayah. Tetapi kemudian Pemerintah tidak memberikan persetujuan.
Kontradiksi lain adalah
setelah diterapkannya PSBB di Jakarta
dan hampir semua daerah penyangga, para kepala daerah sepakat meminta agar
operasional kereta Comutter Line
dihentikan selama PSBB diterapkan. Hal ini dirasa penting untuk menekan laju
mobilitas warga daerah penyangga ke Jakarta atau sebaliknya agar penyebaran
virus dari dan ke wilayah DKI Jakarta dapat dikurangi kalaupun tidak bisa dihentikan. Namun
ternyata usulan tersebut ditolak Pemerintah.
Kabar terakhir justru
Plt Menteri Perhubungan Luhut Panjaitan ketika itu meminta Guberur Anies Baswedan menindak
tegas perkantoran yang masih belum libur dan masih meminta karyawannya bekerja
hingga lalu-lintas penumpang dari daerah penyangga Jakarta masih terjadi.
Kegagalan ketiga
tercermin dari tidak sinkronnya aturan yang dikeluarkan dengan praktek yang
terjadi di lapangan. Terkait larangan masuknya orang bahkan warganegara
Indonesia sendiripun yang jadi tenaga kerja di luar negeri atau bagi mereka
yang kuliah di negara lain diminta untuk tidak kembali dulu ke Indonesia. Namun
faktanya ada tenaga kerja asing yang tetap diizinkan masuk.
Tidak
melulu dominasi Pemerintah
Namun memang kegagalan
berhukum selama wabah corona ini sepertinya tidak hanya didominasi oleh
Pemerintah beserta aparaturnya. Warga masyarakat banyak juga yang gagal
berhukum dan tidak patuh melaksanakan aturan yang telah dikeluarkan.
Sebagai contoh
penyebaran berita hoaks selama terjadinya wabah virus corona ini juga menjadi
salah satu gambaran yang memprihatinkan yang pada akhirnya ikut memperkeruh dan
menghabiskan energi aparat ketimbang berkonsentrasi membantu penanganan wabah
virus corona.
Belum lagi rendahnya
kepatuhan warga untuk mematuhi anjuran untuk tetap diam di rumah, bekerja dan
beribadah di rumah, jaga jarak dan
senantiasa menggunakan masker bila terpaksa harus keluar rumah. Bahkan
di beberapa daerah yang sebenarnya tergolong pandemi masih banyak yang tetap menggelar sholat Jum`at dan sholat 5 (lima) waktu berjamaah di mesjid dengan
argumentasi yang seakan sulit dibantah : takut virus atau takut kepada Tuhan?
Akibatnya banyak korban
yang berjatuhan terpapar virus corona berawal dari aktivitas keagamaan seperti
ini. Seperti yang terjadi di sebuah mesjid di Jakarta Barat yang sempat ratusan
jemaah terpaksa diisolasi di mesjid sebelum dikirim ke rumah sakit setelah
diketahui beberapa orang di antara mereka positif virus korona.
Bahkan di sebuah mesjid
di Bogor ditemukan seorang jamaah meninggal dunia saat mengikuti sholat jumat.
Memang belum pasti korban karena virus corona. Tetapi sekali lagi ini gambaran
betapa masyarakat menganggap remeh dan menyepelekan anjuran untuk sementara
tidak beribadah di rumah ibadah secara bersama-sama (jamaah).
Kita berharap gambaran minus
berhukum di tengah wabah corona ini dapat kembali menguatkan pemahaman kita
akan pentingnya berhukum secara benar. Apalagi dalam menghadapi bencana wabah
penyakit global semacam ini. Dengan kesadaran hukum bersama Pemerintah, Pemda
serta warga masyarakat diharapkan dapat menyatukan energi yang kita miliki
sehingga kita memenangkan perang melawan wabah covid 19 ini. Semoga.
___________________
Penulis adalah Advokat, Direktur Lembaga Studi
dan Advokasi Hukum Indonesia (eLSAHI)
0 Response to "Kegagalan Berhukum Menghadapi Wabah Covid19"
Posting Komentar