Polisikan Ibu Rumah Tangga, Walikota Surabaya Menyalahgunakan Wewenang?
Oleh Zenwen Pador
SEORANG ibu rumah tangga, netizen sebuah media sosial telah dilaporkan ke polisi dengan dugaan telah melakukan penghinaan terhadap walikota Surabaya Tri Rismaharini. Diberitakan banyak media bahwa pelapor adalah Kepala Bagian (Kabag) Hukum Pemkot Surabaya, Ira Tursilawati berdasarkan surat kuasa dari walikota Surabaya tersebut.
Berdasarkan laporan
tersebut, Kepolisian telah melakukan penangkapan terhadap terlapor dan telah
menahannya di Polresta Surabaya. Kasusnya sudah dalam tahap penyidikan.
Sementara itu di media
sosial juga beredar kabar bahwa atas pelaporan tersebut, ada pihak yang
sebaliknya melaporkan kejadian tersebut ke Ombudsman Indonesia. Dasar pelaporan
dikabarkan telah terjadi penyalahgunaan wewenang oleh Walikota Surabaya yang
memberikan kuasa kepada Kabag Hukum Pemkot Surabaya untuk melaporkan warganet
yang diduga menghinanya.
Menurut laporan ke
Ombudsman tersebut, putusan MK kasus penghinaan ini adalah delik aduan yang
seharusnya menjadi masalah pribadi Tri Rismaharini sehingga kalaulah memang yang bersangkutan merasa
terhina seharusnya melaporkan sendiri secara langsung tidak dengan melibatkan
Kabag hukum secara institusi Pemerintah Kota Surabaya.
Pertanyaan pertama yang perlu kita dudukan adalah apakah kasus yang dilaporkan Pemkot Surabaya ini delik biasa atau delik aduan? Kemudian yang kedua, apakah langkah Walikota Surabaya melakukan pelaporan pidana ke Kepolisian dengan memberikan kuasa kepada Kabag hukum Pemkot Surabaya merupakan perbuatan penyalahgunaan wewenang (abuse of power)?
Delik
Aduan VS Delik Biasa
Menurut Kepolisian
sebagaimana banyak dikutip media, Terlapor dalam kasus ini diancam pasal berlapis, yakni Pasal 45A Ayat 2 juncto
Pasal 28 UU ITE terkait ujaran kebencian atau SARA dengan ancaman hukuman 6
tahun penjara. Kemudian Pasal 45 Ayat 3 UU ITE terkait pencemaran nama baik
dengan ancaman hukuman 4 tahun penjara dan Pasal 310 KUHP.
Bila kita cermati perbuatan yang diduga sebagai tindak
pidana yang kemudian dilaporkan ke kepolisian adalah sebagaimana yang diatur
dalam pasal 27 ayat 3, pasal 28 ayat 2 UU ITE dan pasal 310 KUH Pidana.
Pasal 27 ayat 3 Undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)
menyebut melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan
dan/atau pencemaran nama baik.
Sedagkan Pasal 28 ayat (2) UU ITE adalah sebagai
berikut:
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan
informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan
individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama,
ras, dan antargolongan (SARA).
Sementara itu Pasal
310 sebagaimana disebutkan diatas menguraikan tentang melakukan penghinaan di
depan umum dan penghinaan melalui surat atau bentuk tulisan lainnya yang dapat
diketahui secara umum.
Memang sebelum adanya perubahan UU ITE perlu diketahui
bahwa mengenai penghinaan atau pencemaran nama baik ini sudah dinyatakan
sebagai delik aduan juga oleh Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008. Putusan tersebut mengenai
penegasan bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan delik aduan. Dalam
pertimbangan Mahkamah Konstitusi Butir [3.17.1] dijelaskan:
Bahwa terlepas dari pertimbangan Mahkamah yang telah
diuraikan dalam paragraf terdahulu, keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat
(3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan
Pasal 311 KUHP sebagai genus delict yang mensyaratkan adanya pengaduan (klacht) untuk dapat
dituntut, harus juga diperlakukan terhadap perbuatan yang dilarang dalam Pasal
27 ayat (3) UU ITE, sehingga Pasal a quo juga harus ditafsirkan sebagai delik
yang mensyaratkan pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut di depan Pengadilan.
Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 menyebut
pasal 310 sebagai salah satu genus delict dari pasal 27 ayat (3) UU ITE, dengan
demikian jelas pasal ini adalah delik aduan sebagaimana juga diputuskan dalam
putusan MK No. 31/PUU-XII/2015 terkait konstituanalitas pasal 319 KUHP.
Sementara itu mengenai Pasal 28 ayat (2) UU ITE
(ketentuan mengenai SARA) juga sudah pernah diuji konstitusionalitasnya
terhadap Undang-Undang
Dasar 1945 (“UUD 1945”) dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-XI/2013.
Namun Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa Pasal
28 ayat (2) UU ITE tidak bertentangan dengan Konstitusi. Dalam putusan MK
sebagaimana dimaksud, tidak memberikan penjelasan mengenai apakah ketentuan ini
merupakan delik biasa atau delik aduan.
Selain itu dalam UU No. 19/2016 juga tidak menyebutkan
apakah ketentuan mengenai SARA yang diatur dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE
merupakan delik biasa atau delik aduan. Menurut saya secara a contrario, hal ini merupakan delik biasa karena hanya
ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE saja yang didefinisikan sebagai delik aduan
sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan umum UU No.19/2016, yaitu:
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 50/PUU-VI/2008 dan Nomor 2/PUU-VII/2009, tindak pidana penghinaan dan
pencemaran nama baik dalam bidang Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik
bukan semata-mata sebagai tindak pidana umum, melainkan sebagai delik aduan. Penegasan mengenai
delik aduan dimaksudkan agar selaras dengan asas kepastian hukum dan rasa
keadilan masyarakat.
Dengan demikian jelas kesimpulan bahwa pasal
yang dituduhkan kepada terlapor termasuk ke dalam kedua jenis delik baik delik
biasa maupun delik aduan.
Secara formal kita ketahui bahwa hanya delik
aduan yang mensyaratkan secara formal harus ada pengaduan secara langsung dari
pihak yang merasa dirugikan atas perbuatan yang dituduhkan.
Sedangkan delik biasa, tanpa adanya pengaduan
dari pihak korban pun Kepolisian dapat menerima laporan dari pihak manapun juga
dan kepolisian dapat juga melakukan penyelidikan dan penyidikan bila memang
menilai dengan kuat telah terjadi Tindak Pidana sebagai diatur dalam
pasal-pasal yang merupakan delik biasa tersebut.
Dalam kasus ini jelas yang masuk delik biasa
adalah pasal 28 ayat (2) jonto pasal Pasal 45A
ayat (2) UU 19/2016. Sementara itu pasal
27 ayat 3 UU
ITE dan pasal 310 KUH Pidana merupakan delik aduan.
Kita tidak tahu pasti atas tuduhan
pasal apa yang dilaporkan oleh walikota Surabaya tersebut, namun yang jelas
untuk dugaan perbuatan sebagaimana diatur dalam pasal 28 ayat (2) jonto
pasal 45A ayat (2) UU ITE yang merupakan delik biasa
Kepolisian dapat dengan sendirinya melakukan penyelidikan/penyidikan.
Sedangkan
untuk pasal lainnya yaitu pasal 27 ayat 3 UU ITE dan pasal 310 KUH
Pidana harus ada pengaduan terlebih dulu dari pihak yang dirugikan. Asumsi saya
kalau Kepolisian juga menggunakan pasal ini dalam penyelidikan bahkan sudah
meningkatkan kasus ke tahap penyidikan dan menetapkan tersangkanya
berkemungkinan besar, kedua pasal inilah yang termasuk diadukan oleh Walikota
Surabaya.
Dengan demikian pertanyaan pertama
terjawab sudah secara formal proses penyidikan dapat dilanjutkan oleh
Kepolisian apalagi kalau benar berdasarkan pasal 27 ayat 3 UU ITE dan pasal 310 KUH Pidana
pengaduan dilakukan oleh Walikota Surabaya. Namun kalaupun tidak ada pengaduan,
Kepolisian tetap dapat melanjutkan proses hukum berdasarkan pasal 28 ayat (2) jonto pasal 45A ayat (2) UU ITE yang merupakan
delik biasa.
Sekaligus
juga menjawab bahwa proses hukum yang dilakukan Kepolisian sesuai dengan
kewenangannya, setidaknya proses hukum tetap dapat dilanjutkan dengan
mendasarkan tuduhan pada pasal 28 ayat (2) jonto pasal 45A ayat (2) UU ITE.
Walikota Risma Menyalahgunakan
Wewenang?
Persoalannya
kemudian apakah tindakan Walikota Surabaya yang memberikan kuasa kepada Kabag
Hukum untuk mengadukan terlapor dapat dibenarkan secara hukum?
Berdasarkan
informasi yang disampaikan oleh Kabag Humas Pemkot Surabaya, langkah hukum tersebut
ditempuh berdasarkan desakan warga Surabaya yang merasa Pemkot dan Kota
Surabaya termasuk warga kota merasa dilecehkan dengan tindakan Terlapor. Dalam
artian Pemkot melakukan langkah hukum secara institusi kelembagaan Kota
Surabaya karena yang merasa dirugikan tidak hanya Tri Rismaharini selaku
Walikota dan pribadi tetapi juga Pemkot Surabaya secera institusi.
Namun untuk memahami persoalan ini
ada baiknya kita simak pendapat mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie, yang
berpendapat bahwa “…kalau yang namanya institusi presiden tidak punya
perasaan, maka lembaga presiden itu tidak bisa merasa dihina. maka siapa yang
merasa dihina? itu pribadi. ya sama dengan pribadi yang lain, kalau merasa
dihina dia mengadu ke polisi. Maka penghinaan kepada siapa saja itu delik aduan”
(mahkamahkonstitusi.go.id, 6/8/2015).
Bila kita bandingkan dengan kasus
ini, memang seharusnya yang merasa dicemarkan nama baiknya adalah Tri
Rismaharini selaku pribadi bukan sebagai Walikota Surabaya, maka memang
seharusnya pengaduanpun harus dilakukan secara pribadi. Tidak bisa Tri
Rismaharini memberikan kuasa kepada Ira Tursilawati dalam
jabatannya selaku Kabag Hukum Pemkot Surabaya. Tri Rismaharini harus bertindak
secara pribadi dan kalau ingin menguasakan tindakannya maka kuasa hanya bisa
diberikan kepada advokat/pengacara sesuai UU Advokat.
Namun demikian
sebagaimana dijelaskan tadi kalaupun tidak ada laporan/pengaduan dari Walikota
Surabaya selaku pribadi Kepolisian tetap dapat melanjutkan proses hukum karena
pasal lain yang dituduhkan bukanlah delik aduan. Jadi ya kasus tetap harus
dilanjutkan. Sekalipun nanti Walikota Surabaya menyatakan memberikan maaf
kepada Terlapor.
Maka pesan saya
akhirnya adalah hati-hatilah dengan gadget dan jarimu. Jangan sembarang ketik
saja di keyboard gadget anda. Menurut saya sebagai pembelajaran hukum kasus ini
baik juga untuk kita cermati prosesnya. Semoga hakim nanti dapat memutus dengan
seadil-adilnya.
___________________
Depok,
5 Februari 2020
0 Response to "Polisikan Ibu Rumah Tangga, Walikota Surabaya Menyalahgunakan Wewenang?"
Posting Komentar