Gagalnya Penegakan Hukum Pemerintahan Jokowi
www.tempo.co.id |
Oleh Zenwen Pador
DALAM bukunya “Gagalnya
Pembangunan: Membaca Ulang Keruntuhan Orde Baru”, Andrinof A Chaniago
menguraikan beberapa indikator yang membawanya pada kesimpulan bahwa Rezim Orde
Baru juga telah gagal dalam pembangunan hukum.
Beberapa Indikator yang
diuraikan antara lain : tingginya arogansi elit politik, lemahnya penghormatan
aparat terhadap penegakan dan perlindungan hukum rakyat serta rendahnya
kepatuhan hukum dan meningkatnya perlawanan terhadap proses hukum. Semua itu
berlanjut dengan berbagai peristiwa kerusuhan dan amuk massa di banyak tempat
di Indonesia yang berujung pada
kerusuhan besar Mei 1998.
Namun demikian, menurut
Andrinof setiap peristiwa amuk massayang mulai marak sejak 1996 itu memang
memiliki kombinasi faktor-faktor penyebab, mulai dari persoalan agama, etnis,
kesenjangan dankecemburuan sosial, arogansi aparat hingga yang sarat dengan
muatan politik kepentingan.
Dapat dikatakan ketika
itu, semua peristiwa itu seakan melengkapi bukti-bukti empiris bahwa umumnya
anggota masyarakat Indonesia khususnya usia muda lebih suka memilih
penyelesaian konflik dengan cara
menjauhi proses hukum. Mereka umumnya memperlihatkan perilaku anti hukum yang
cenderung makim membudaya (Andrinof A
Chaniago, Gagalnya Pembangunan, hal.233).
Juga menurut Andrinof,
kecenderungan lain yang sering muncul dalam berbagai amuk massa tersebut, siapa
yang merasa posisinya kuat cenderung menggunakan berbagai kekuatan untuk
menghadapi lawan dalam bersengketa. Fenomena ini tidak hanya monopoli aparat, tetapi
masyarakat, kelompok perorangan yang merasa posisinya lebih kuat.
Salah satu faktor yang
membentuk budaya hukum seperti itu menurut Andrinof adalah soal efektivitas
sasaran utama proyek pembangunan hukum pemerintahan Orde Baru yang gagal
menjadikan masyarakat sebagai masyarakat yang sadar hukum. Sumber masalah dalam pembangunan hukum yang
ternyata tidak berhasil membangun budaya cinta hukum tidak hanya karena
persoalan sumber daya aparat tetapi berkaitan dengan masalah visi pembangunan
hukum rezim Orde Baru.
Bila dicermati berbagai
rumusan pembangunan hukum dalam GBHN dan buku Repelita dari berbagai periode
pemerintahan Orde Baru, persoalan visi memang ada hanya saja tidak ada sasaran
yang jelas untuk membudayakan perilaku menggunakan hukum dalam masyarakat.
Bagaimana halnya dengan
Rezim Pemerintahan Jokowi sejak pemerintahan jilid pertama 2014 – 2019 dan bagaimana
prosfeknya pada periode kedua yang baru saja berjalan beberapa bulan ini?
Adakah visi pembangunan
hukum yang jelas dilengkapi dengan strategi dan sasaran pembangunan hukum yang
konkret sejak Jokowi memerintah?
Bagaimanakah kita membaca berbagai fenomena
dalam proses penegakan hukum, berbagai kerusuhan yang terjadi mengiringi
penetapan Jokowi sebagai Pemenang Pilpres pada periode kedua ini? Adakah
kondisi ini juga lahir dari ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga
penegak hukum: Kepolisian Kejaksaan, Pengadilan bahkan Mahkamah Konstitusi dan KPK?
Sekalipun Presiden
Jokowi sudah menegaskan tidak ada lagi Cebong ataupun Kampret, apalagi dengan
bergabungnya Gerindra dengan Prabowo sebagai Menteri Pertahanan dalam Kabinet
Jokowi Jilid II, nampaknya friksi dan keterbelahan dalam masyarakat masih
tampak.
Tidak dipungkiri hampir
sebagian besar pemilih Prabowo yang jumlahnya 45,50 % penduduk Indonesia yang berhak memilih masih menyimpan keraguan
akan kebenaran hasil Pilpres 2019 yang dimenangkan Jokowi. Anasir-anasir
pernyataan telah terjadi kecurangan dalam pilpres, kecurigaan jatuhnya korban
jiwa ratusan orang petugas demi
kemenangan Jokowi rasanya sampai saat ini belum hilang secara keseluruhan.
Apalagi dengan
mencuatnya beberapa kasus antara lain skandal Jiwasraya yang dituduhkan menjadi
mesin ATM kepentingan politik rezim yang sekarang berkuasa ketika
memenangkan Pilpres, kisah penangkapan pelaku penyerangan Novel Baswedan yang
masih diragukan publik sampai kekecewaan masyarakat khususnya para pegiat antikorupsi atas
amputasi kewenangan yang dialami KPK.
Apakah berbagai
kerusuhan yang sempat terjadi pasca Pilpres, termasuk juga rusuh Wamena dan
beberapa tempat lainnya berkaitan dengan ketidakpuasan masyarakat atas aparat?
Atau atas keyakinan atas kinerja penegakan hukum yang senantiasa sering dinilai
tebang pilih oleh banyak lapisan masyarakat atau hanya menyasar lawan politik
belaka?
Apakah juga berdasarkan
anasir-anasir dan kecenderungan negatif di atas dapat disimpulkan bahwa rezim
Pemerintahan Joko Widodo dalam periode pertama pemerintahannya juga telah gagal
dalam pembangunan dan penegakan hukum?
Evaluasi
Kinerja Hukum Jokowi Jilid I
Di bidang hukum dan HAM, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
(YLBHI) memberi rapor merah pada Kemenko Polhukam. Dalam laporan tahunan 2018
yang bertajuk Derita Rakyat Ketika Negara di Bawah Kuasa
Modal, YLBHI mencatat luas konflik agraria sepanjang tahun 2018
mencapai 488.404 hektare.
Laporan itu menyebut penggusuran masyarakat terjadi di mana-mana di
kota-kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta hingga Sulawesi Utara. Di Jakarta,
dua tahun setelah Jokowi dilantik menjadi presiden, penggusuran di Bukit Duri bahkan
melibatkan polisi dan tentara.
Selain itu isu-isu yang memerlukan pendekatan secara
kemanusiaan, pemerintah seringkali melakukan pendekatan secara
keamanan.Contohnya, adalah pengiriman pasukan militer ke Nduga, Papua.
YLBHI juga menyoroti penyelesaian kasus-kasus HAM
pelanggaran masa lalu yang tidak bergerak sama sekali dalam periode pertama
Jokowi, termasuk juga kritik atas kinerja Kementerian Hukum dan HAM, yang
meloloskan UU KPK, sebuah upaya yang dinilai dapat melemahkan KPK.
Dalam hal
pemberantasan korupsi, tiga menteri dalam periode pertama Jokowi, yakni Menteri Sosial
Idrus Marham, Menteri Agama Romahurmuzi dan Menpora Imam Nahrowi juga telah melekatkan
citra buruk atas komitmen Jokowi dalam pemberantasan korupsi.
Terkait
penegakan hukum dan HAM, pengusutan pelanggaran HAM berat yang terjadi
bertahun-tahun lalu hingga berakhirnya periode I Jokowi belum juga mampu
diselesaikan. Padahal Nawacita keempat berbunyi 'Menolak negara lemah dengan
melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat,
dan terpercaya.
Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memberi rapor merah bagi pemerintahan
Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait keseriusan pemerintah untuk mengusut
pelanggaran HAM berat. Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mencatat, ada
sembilan kasus HAM berat yang bertahun-tahun belum juga diselesaikan oleh
pemerintahan Jokowi.
Kasus-kasus
tersebut adalah Peristiwa 1965-1966, penembakan misterius 1982-1985, peristiwa
Talangsari 1989, penghilangan paksa aktivis 1997-1998, peristiwa Trisakti,
peristiwa Semanggi I, peristiwa Semanggi II, kerusuhan Mei 1998, serta
peristiwa Wasior, Wamena pada 2000-2003. Bahkan Komnas HAM menambahkan tiga
berkas kasus lagi, yakni kasus Jambu Kepok, kasus Simpang KKA, hingga Rumah
Gedong.
Oleh
sebab itu, Komnas HAM meminta pemerintahan Jokowi segera menyelesaikan masalah
ini. "Untuk kasus HAM berat (diberi) nilai merah, karena tidak ada
kemajuan," kata Taufan, sebagaimana dilansir situs katadata.co.id, 26
Oktober 2018.
Evaluasi
kelompok masyarakat yang dirilis oleh berbagai organisasi non pemerintah dan
Komnas HAM sebagaimana diuraikan diatas termasuk juga oleh ICW, Kontras dan
beberapa organisasi masyarakat sipil lainnya memberikan catatan yang tidak
menggembirakan bahkan cenderung buruk dengan raport merah atas capaian kinerja
Pemerintahan Jokowi pada periode sebelumnya.
Capaian versi Pemerintah
Catatan Buruk di atas sangat berbeda dengan rilis yang disampaikan Kantor Staf Presiden (KSP) terkait capaian bidang hukum pemerintahan Jokowi. Menurut KSP Periode I pemerintahan Jokowi telah berhasil memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya.
Indikator capaian
antara lain penegakan hukum yang semakin berkeadilan, memperkuat posisi
Indonesia sebagai negara hukum, pelayanan hukum yang meningkat bagi masyarakat,
komitmen dalam perlindungan HAM termasuk perlindungan bagi perempuan dan anak,
serta pemberantasan narkoba.
Dalam memperkuat posisi
Indonesia sebagai negara hukum salah satu capaian signifikan adalah
pemberantasan pungutan liar melalui Satuan Tugas Sapu Bersih Punguta Liar yang
telah melakukan 20.953 kali operasii tangkap tangan dengan jumlah tersangka
32.233 orang dan nilai barang bukti yang berhasil diselamatka sebesar Rp. 323 Milyar lebih.
Dalam bidang pelayanan
hukum ditunjukkan dengan capaian dalam penyelesaian kasus tindak pidana yang
prosentasenya mencapai 62, 99 % pada tahun 2017 sedangkan pada tahun 2015 hanya 58,13 %. Sedangkan resiko orang terkena kejahatan juga
menurut KSP menurun pada tahun 2017 menjadi 129 orang per 100.000 penduduk menurun dari tahun 2015 dan 2016 yang angkanya 140 orang per 100.000
penduduk.
Terkait perlindungan
HAM, pada tahun 2017 kinerja Pemerintah mendapatkan apresiasi dari Dewan HAM
PBB saat Indonesia menyampaikan laporan kelompok kerja Universal Periodic
Review tahun 2017. Akan halnya
pemberantasan narkoba sejak tahun 2015 jumlah aset yang berhasil disita dari
tindak pidana pencucian uang dari kejahatan narkoba berjumlah 675 Milyar
sedangkan jaringan sindikat tindak pidana narkotika yang berhasil diungkap berjumlah 141
sindikat.
Harapan
Hukum pada Periode ke-2
Barangkali benar
laporan KSP karena berangkat dari visi misi dan strategi serta program yang
telah ditetapkan pemerintah dalam bidang hukum. Akan tetapi persoalannya, seluruh progra kerja Jokowi di bidang
hukum tersebut tentunya masyarakat yang telah
merasakan secara langsung sehingga apa yang dirasakan masyarakat ataupun
kelompok-kelompok masyarakat tertentu
seyogyanya dijadikan catatan penting bagi Pemerintah.
Sudah barang tentu
penilaian yang berdasarkan pengalaman dan perasaan masyarakat tersebut sangat
perlu dipertimbangkan sebagai catatan penting bagi Pemerintahan Jokowi. Gagal
tidaknya sebuah program yang ditujukan dan dilaksanakan dalam masyarakat sudah
barang tentu masyakarat sendiri yang dapat merasakan dan memberikan penilaian.
Dari semua catatan merah tersebut kita berharap menjadi pelajaran
dan catatan maha penting bagi Pemerintahan Jokowi dalam melaksanakan strategi
dan program kerja di bidang hukum pada periode kedua ini. Kasus skandal gagal bayar Jiwasraya yang
mencuat di akhir tahun 2019 harus menjadi momen penting bagi Pemerintah melalui
Kejaksaan untuk dapat mengungkap kasus tersebut secara terang benderang.
Sehingga berbagai dugaan miring tentang kaitan bancakan dana nasabah tersebut
dengan pemenangan Jokowi dalam Pilpres 2019 atau kaitannya dengan orang istana
dapat secara meyakinkan di tepis.
Begitu juga halnya
dengan dugaan keganjilan pengungkapan kasus penyerangan terhadap Novel Baswedan
sungguh akan kembali menjadi batu ujian bagi profesionalitas dan kemandirian
Polri dalam penegakan hukum. Masyarakat memang harus diyakinkan secara kongkret
atas kinerja bidang hukum dan penegakan hukum oleh aparat.
Dengan demikian
kepercayaan rakyat terhadap hukum dan penegakan hukum dapat semakin kuat, yang
tentunya juga akan berdampak positif bagi Pemerintahan Jokowi pada periode
kedua ini.
____________________
0 Response to "Gagalnya Penegakan Hukum Pemerintahan Jokowi"
Posting Komentar