KPPOD Sepakat dengan Ide Pusat Legislasi Nasional
Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) sepakat dengan ide pembentukan Pusat Legislasi Nasional yang diwacanakan Calon Presiden Nomor Urut 01 Joko Widodo pada debat pertama di Hotel Bidakara, Pancoran, Jakarta, Kamis (17/1) lalu. Lembaga ini dinilai baik untuk melakukan harmonisasi regulasi antara daerah dan pusat.
“Kami sepakat dengan ide pusat legislasi nasional untuk melakukan harmonisasi regulasi baik antara kementerian atau lembaga maupaun antara pusat dan daerah,” kata peneliti KPPOD, Arman Suparman, di Jakarta, Senin (21/1).
Yang penting, lembaga tersebut harus dapat mengatasi egosektoral antarlembaga atau kementerian. Lembaga ini juga harus mempunyai kewenangan eksekusi yang kuat. “Lembaga ini nantinya mesti diberi kewenangan yang cukup sehingga memiliki power untuk melakukan harmonisasi regulasi,” tandas dia.
Menurut Arman, sebenarnya masih banyak peraturan daerah yang bermasalah di Indonesia. Merujuk pada hasil kajian KPPO pada April 2017 terhadap perda pungutan dan non-pungutan (perizinan, ketenagakerjaan, CSR), pihaknya menemukan, dari 1082 perda yang dikaji, terdapat 50,55 persen perda yang bermasalah.
“Dari perda-perda bermasalah tersebut, persoalan terbesar terletak pada kejelasan standar waktu, biaya, dan prosedur. Permasalahan ini sangat membebani investasi daerah, karena dunia usaha sebenarnya membutuhkan kepastian hukum soal waktu, biaya, dan prosedur, baik dalam pembayaran pajak dan retribusi maupun dalam proses perizinan usaha,” terang dia.
Dari hasil kajian tersebut, lanjutnya, terdapat dua level yaitu pusat dan daerah. Pada level pusat, ada beberapa regulasi yang tidak sinkron antara kementerian atau lembaga atau antara undang-undang dengan peraturan sektoral.
“Misalnya, Permendagri No 19 Tahun 2017 tentang Penghapusan Izin Gangguan yang sangat menghambat investasi daerah. Namun, di level UU, belum dicabut seperti UU Gangguan atau Hinder Ordonnantie Staatsblad Tahun 1926 Nomor 226 dan UU 28/2009 tentang pajak dan retribusi. Inilah yang membuat sejumlah daerah masih memberlakukan izin gangguan,” ungkap dia.
Di level daerah ada beberapa akar persoalan. Pertama, terdapat daerah yang menambahkan ketentuan yang sebenarnya tidak ada dalam regulasi pusat, seperti menambahkan persyaratan, prosedur, waktu dan biaya.
Kedua, proses yang salah dan kapasitas SDM yang lemah dalam penyusunan regulasi daerah. Dalam penyusunan ranperda, kata dia, pemda sering kali tidak melibatkan pemangku kepentingan atau orang-orang yang paham terkait substansi pengaturan. Pemda sering kali fokus pada sisi pembuatan draft, tapi lupa soal substansi yang diatur.
"Ketiga, ada juga perda bermasalah karena ambisi politik kepala daerah. Hal ini sering terjadi dalam perda ketenagakerjaan atau Tanggung Jawab Sosial Lingkungan (TJSL) atau dulu disebut CSR. Misalnya soal perlindungan buruh atau tenaga kerja lokal yang berlebihan sehingga “melanggar” regulasi nasional," kata dia.
Dalam konteks ini, kata Arman, Pusat Legislasi Nasional penting untuk melakukan hormonisasi regulasi baik di tingkat pusat, tingkat daerah maupun antara tingkat pusat dan daerah. Selain itu, menurut dia, tetap memperkuat executive review ranperda di Kemendagri.
"Ini sangat penting mengingat kalau perda disahkan, yang membatalkan adalah MA. Karena itu, penting proses review di kemendagri untuk memfilter ranperda-ranperda yang berpotensi bermasalah,” tutur dia.
Tak hanya itu, dia mendorong pemerintah pusat melakukan sosialisasi secara sistematis terkait regulasi-regulasi nasional terbaru sehingga Pemda cepat melakukan pemutahiran. Hal tersebut juga harus didukung dengan peningkatan kapasitas Pemda dalam pembuatan regulasi daerah, terutama di sisi metode penyusunan ranperda.
Sumber : https://www.beritasatu.com/nasional/533748-kppod-sepakat-dengan-ide-pusat-legislasi-nasional.html
“Kami sepakat dengan ide pusat legislasi nasional untuk melakukan harmonisasi regulasi baik antara kementerian atau lembaga maupaun antara pusat dan daerah,” kata peneliti KPPOD, Arman Suparman, di Jakarta, Senin (21/1).
Yang penting, lembaga tersebut harus dapat mengatasi egosektoral antarlembaga atau kementerian. Lembaga ini juga harus mempunyai kewenangan eksekusi yang kuat. “Lembaga ini nantinya mesti diberi kewenangan yang cukup sehingga memiliki power untuk melakukan harmonisasi regulasi,” tandas dia.
Menurut Arman, sebenarnya masih banyak peraturan daerah yang bermasalah di Indonesia. Merujuk pada hasil kajian KPPO pada April 2017 terhadap perda pungutan dan non-pungutan (perizinan, ketenagakerjaan, CSR), pihaknya menemukan, dari 1082 perda yang dikaji, terdapat 50,55 persen perda yang bermasalah.
“Dari perda-perda bermasalah tersebut, persoalan terbesar terletak pada kejelasan standar waktu, biaya, dan prosedur. Permasalahan ini sangat membebani investasi daerah, karena dunia usaha sebenarnya membutuhkan kepastian hukum soal waktu, biaya, dan prosedur, baik dalam pembayaran pajak dan retribusi maupun dalam proses perizinan usaha,” terang dia.
Dari hasil kajian tersebut, lanjutnya, terdapat dua level yaitu pusat dan daerah. Pada level pusat, ada beberapa regulasi yang tidak sinkron antara kementerian atau lembaga atau antara undang-undang dengan peraturan sektoral.
“Misalnya, Permendagri No 19 Tahun 2017 tentang Penghapusan Izin Gangguan yang sangat menghambat investasi daerah. Namun, di level UU, belum dicabut seperti UU Gangguan atau Hinder Ordonnantie Staatsblad Tahun 1926 Nomor 226 dan UU 28/2009 tentang pajak dan retribusi. Inilah yang membuat sejumlah daerah masih memberlakukan izin gangguan,” ungkap dia.
Di level daerah ada beberapa akar persoalan. Pertama, terdapat daerah yang menambahkan ketentuan yang sebenarnya tidak ada dalam regulasi pusat, seperti menambahkan persyaratan, prosedur, waktu dan biaya.
Kedua, proses yang salah dan kapasitas SDM yang lemah dalam penyusunan regulasi daerah. Dalam penyusunan ranperda, kata dia, pemda sering kali tidak melibatkan pemangku kepentingan atau orang-orang yang paham terkait substansi pengaturan. Pemda sering kali fokus pada sisi pembuatan draft, tapi lupa soal substansi yang diatur.
"Ketiga, ada juga perda bermasalah karena ambisi politik kepala daerah. Hal ini sering terjadi dalam perda ketenagakerjaan atau Tanggung Jawab Sosial Lingkungan (TJSL) atau dulu disebut CSR. Misalnya soal perlindungan buruh atau tenaga kerja lokal yang berlebihan sehingga “melanggar” regulasi nasional," kata dia.
Dalam konteks ini, kata Arman, Pusat Legislasi Nasional penting untuk melakukan hormonisasi regulasi baik di tingkat pusat, tingkat daerah maupun antara tingkat pusat dan daerah. Selain itu, menurut dia, tetap memperkuat executive review ranperda di Kemendagri.
"Ini sangat penting mengingat kalau perda disahkan, yang membatalkan adalah MA. Karena itu, penting proses review di kemendagri untuk memfilter ranperda-ranperda yang berpotensi bermasalah,” tutur dia.
Tak hanya itu, dia mendorong pemerintah pusat melakukan sosialisasi secara sistematis terkait regulasi-regulasi nasional terbaru sehingga Pemda cepat melakukan pemutahiran. Hal tersebut juga harus didukung dengan peningkatan kapasitas Pemda dalam pembuatan regulasi daerah, terutama di sisi metode penyusunan ranperda.
Sumber : https://www.beritasatu.com/nasional/533748-kppod-sepakat-dengan-ide-pusat-legislasi-nasional.html
0 Response to "KPPOD Sepakat dengan Ide Pusat Legislasi Nasional"
Posting Komentar